Sabtu, 07 Februari 2015

Kompas Cinta


            Malam pergantian tahun bagi sebagian orang menjadi tradisi yang patut untuk dirayakan. Tiupan terompet ditambah pesta kembang api menjadi suguhan yang menarik dalam semarak kemeriahan detik-detik pergantian tahun. Aku juga sangat menunggu moment ini sejak seminggu yang lalu, bukan karena ingin merayakan tahun baru dengan cara berfoya-foya membeli kembang api lalu dibakar begitu saja, melainkan karena setiap tanggal 1 Januari merupakan hari libur nasional, lumayan ada rehat dipertengahan UAS nih.
“Yeah I’m free” teriakku sambil melihat langit di balik jendela.
“Mba, malam tahun baru mau kemana?” tanya perempuan di balik pintu kamarku.
“Di kosan saja”
“Nasib jomblo ya kaya gitu malam tahun baru ngamar terus kerjaannya” celoteh Rini sambil tertawa.
“Sesama jomblo jangan kaya gitu, mbok kamu juga paling di kosan saja. Keluar malam hanya untuk melihat kembang api? Kalau masuk angin bagaimana? Bisa ribet urusannya tuh, mending juga istirahat di kosan sambil bikin resolusi 2015”
“Eitss, jangan salah walau aku jomblo tapi aku mau tahun baruan di PKM bareng anak-anak silat lohhh....” belum sempat dia bercerita panjang lebar, aku langsung memotong perkataannya.
“Ah.. sudah sana kalau mau berangkat mah, ntar telat loh!”  
“Iya deh mba, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam, pintunya tutup Rin”
“Brakk..” pintu ditutup dengan sekuat tenaga hingga menjatuhkan kertas yang tertempel di dinding dekat pintu tersebut.
Mataku langsung tertuju pada kertas tersebut, dengan segera aku langsung mengambilnya dalam posisi telungkup. Saat aku membalikan kertas itu terdapat tulisan Harapan 2014 lengkap dengan 50 targetan.
“Masih banyak targetan yang belum tercapai tahun ini, setahun rasanya berlalu begitu cepat” ucapku sambil melihat langit-langit kamar.
 Malam tahun baru menjadi ajang Laporan Pertanggung Jawaban, ya waktunya untuk muhasabah diri sekaligus untuk membuat resolusi di tahun 2015. Semoga tahun 2015 semua resolusiku tercapai, harus dan kudu lebih baik lagi dari 2014.
Semangat Yeyet, kamu pasti bisa!

***
            Selamat pagi 2015, udara segar sangat terasa saat aku membuka jendela. Mentari menampakkan sinarnya dengan penuh semangat. Cerah sekali hari ini, aku pun langsung bergegas ke belakang untuk menjemur pakaian yang aku cuci kemarin sore.
            “Jemur yet?” tanya perempuan berkacamata yang sedang asyik menjemur pakaian.
            “Iya nih, mumpung cerah Fa”
            “Libur panjang mau kemana nih? Bosen loh kalau di kosan terus, main yuk!” ajak Sifa dengan penuh semangat.
            “Main kemana? Sawah?”
            “Ah, jangan  ke sawah dong!”
            “Baturraden, yuk ke saja, eh tapi dompet lagi tipis banget nih!”
            “Ide bagus, tenang Yet, bawa cemilan saja biar gak jajan di sana, kebetulan pas aku pulang ibu bawa makanan banyak banget” ucap Sifa sambil mengalungkan handuk dilehernya.
            Aku segera menyelesaikan menjemur pakaian yang hanya beberapa potong baju lagi. Saat memasuki dapur, aku berpapasan dengan Rini yang sedang asyik mencuci piring.
            “Rin, mau ikut gak Baturraden”
            “Baturraden, ya mba aku ikut kebetulan aku belum pernah ke sana, jam berapa mba?”
            “Pokoknya paling siang kita berangkat pukul 09.00 ayo kalian mandi dulu terus siap-siap mumpung ada waktu sejam lagi” teriak Sifa dari balik kamar mandi.
            “Oke deh!” jawabku
***
            Toko banyak yang tutup dan hanya ada beberapa sepeda motor melintas membawa belanjaan. Jalan terlihat lengang sekali bahkan nyebarang pun tak harus menunggu lampu hijau menyala. Mungkinkah kota ini ditinggal mudik penghuninya? Ataukah penghuninya masih terlelap tidur karena semalaman begadang? Tak lama kemudian anggkot hijau terlihat dari arah timur, aku pun langsung melambaikan tangan.
            “Ke Baturraden kan Pak?” tanyaku ke sopir yang memakai kaos oblong.
            “Iya” jawabnya singkat.
            Kami memasuki angkot tersebut yang sudah terisi penumpang setengahnya. Perjalanan menuju Baturaden membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Maklum di tengah perjalanan sopir terus memasukkan penumpang hingga angkot pun benar-benar sesak ditambah barang bawaan penumpang seperti dagangannya yang akan dijajakan di lokawisata Baturraden.
            Kondisi Baturreden ternyata cukup ramai oleh pengunjung baik yang berasal dari Purwokerto maupun dari luar kota. Hal ini sangat kontras dengan kondisi lingkungan di sekitar kampus yang sepi sekali. Antrean di depan loket masuk lumayan panjang yang membuat kami harus bersabar menunggu giliran membeli tiket masuk seharga Rp 14.000.
            “Akhirnya target semester 1 pergi ke Baturraden kesampaian juga, ramai sekali pengunjungnya” ucap Rini dengan wajah yang sumringah.
            “Yeah, aku dapat tiketnya, yuk kita masuk!” teriakku sambil membagikan tiket ke Rini dan Sifa.
            Alunan kentongan menambah suasana pagi menjadi lebih hangat, aku sangat suka dengan kesenian itu, bunyi yang dikeluarkan dari instrumen bambu sangatlah khas sekali. Jadi tak sabar ingin segera menontonnya, namun langkah kakiku terhenti saat melihat tulisan 30 menit langsung jadi. Pandanganku mendarat pada lukisan lelaki tua yang sedang merokok. Lelaki tua berbaju merah, perawakannya tinggi besar dan berambut panjang sangat terampil memainkan kuasnya. Tak pikir panjang lagi, aku langsung meminta Rini dan Sifa untuk mampir di stand tersebut.
            “Lukisannya mirip sekali ya, berapa harganya Pak?” tanyanya pada lelaki tua yang penampilannya mirip preman.
            “Satu lukisan wajah harganya Rp. 250.000, suka melukis juga?” ucap lelaki yang sedang melukis wajak anak kecil.
            “Suka, tapi hasilnya selalu jelek!” jawabku sambil tertawa kecil mendengar harga lukisan yang setara dengan uang makanku selama dua minggu.
            Aku dan Sifa terlibat perbincangan yang cukup menarik dengan beliau, sampai lupa kalau ada Rini. Ah aku memang terlalu kepo, semua orang diwawancara, tapi aku suka dengan hal itu, nyuri ilmu bukanlah tindakan kriminal kan?
            “Tujuan kita ke sini mau refreshing, lah malah nongkrong di sini” Sifa mencoba mengingatkanku.
            Kami pun melanjutkan perjalanan menikmati keindahan alam yang masih asri ini, melintasi jembatan, berfoto dekat air terjun, nonton kentongan, liat badut yang lucu banget dan pada akhirnya kami kelelahan setelah menaiki anak tangga. Wahana yang ada di sini ternyata harus bayar lagi, namun ada juga yang gratis seperti sepeda air, kolam renang dan pemandian air panas. Sebagai mahasiswa, tentu kami milih yang gtratisan, ah naik sepeda air kayanya seru tuh. Namanya juga gratis, antreannya panjang banget kaya gerbong kereta api, sampai ada tulisan “maaf tiketnya habis”. Tak perlu khawatir masih ada wahana yang gratis lagi kok, yaps itu dia mainan ayunan dan njot-njotan (Maklum waktu kecil aku gak sekolah TK, masa kecil kurang bahagia gitu).
            Mainan ini membuat hatiku senang, lupakan sejenak UAS, ayo bermain sepuasnya, sungguh ini gila juga, kaya anak kecil yang baru kenal ayunan. Ah tak peduli walau orang lain banyak yang melihat, toh gak kenal juga. Bahagianya tuh di sini (Sambil pasang senyuman termanis).
            “Dari mana?” tanya lelaki tua yang sedang menemani kedua anaknya main njot-njotan.
            “UNSOED pak” jawab kami dengan sangat kompak.
            “Semester berapa?”
            “Lima” jawab kami berbarengan, Rini sambil tertawa menjawabnya.
            “Berarti umur kalian? 20 tahun ya?”
            “Iya Pak” jawabku
            “Pantas masih unyu-unyu”
            “Iya Pak, unyu-unyu kaya anak SMA” ucap Sifa sambil mengayunkan ayunan yang sedang aku naiki.
            Kami terus dihamtam pertanyaan oleh beliau, mulai dari asal, alamat kos, jurusan, masalah PKL, sampai pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Ini persis kaya wawancara melamar kerja. Ada saja bahan pertanyaannya, kalau gak dijawab takut dianggap egois, cuek, gak sopan apalagi sama orang yang sudah tua.
            “Kalian bertiga saja nih? Pacarnya mana?” tanya beliau sambil menyuapi anak laki-lakinya yang memakai baju ungu.
            “Di Jaelani Pak” jawab Sifa dengan penuh keyakinan.
            “Pacar mba, bukan Kosan” Rini langsung mengambil HP yang sedari tadi dipengang Sifa untuk melihat hasil jepretan.
            “Oh pacar hehe.. dikira kosan, ngeliatin foto jd gak fokus!”
            “Pacarnya diambil orang Pak” jawab Rini dengan wajah polos (Jujur banget sih Rin, sabar ya Rin).
            “Hahaha, berati pada jomblo ya?”
            Ayunan mengayun dengan kencang dan kami pun tertawa lepas sambil walau hati terasa tercabik-cabik.
            “Pacarnya belum ketemu Pak, lagi sama-sama mencari, maklum belum menemukan kompas cinta” jelasku.
            Memang sedari tadi, banyak sekali muda-mudi yang jalan bersama gebetannya, bahkan biar terlihat romantis ada yang pakai baju seragaman (kaya anak mau sekolah saja bajunya seragaman). Lucu sekali melihatnya ada cewek yang ingin foto eh pasangannya lagi badmood akhirnya ceweknya marah-marah, ada juga cowok yang rela nenteng tas ceweknya (koplak banget, padahal cowoknya kaya Polisi berbadan tegap, tapi penampilannya terkalahkan gara-gara nenteng tas ceweknya, pink lagi warnanya). Demi cinta apa sih yang enggak!
            “Pantas saja gak ketemu, nyarinya berlawanan arah sih” Rini tiba-tiba menatapku.
            “Pacarnya ketemu di pelaminan saja Pak, jadi langsung nikah gitu” Sifa mencoba mencairkan suasana.
            “Ntar aku cariin deh, teman bapak banyak yang pegawai loh! Mau gak?”
            “Hahaha....” kami hanya bisa tertawa mendengar tawarannya.
***
Matahari berada tepat di atas kepala, kami memutuskan untuk berhenti bermain ayunan. Semakin siang ternyata pengunjungnya semakin ramai, kami memilih turun saja sekaligus ke kolam renang yang berjarak tak jauh dari tempat ayunan tadi. Lumayan masuk kolam renangnya gratis, sayang kalau tidak dimanfaatkan, lagi pula sudah lama saya tak renang. Saya masih ingat terakhir renang itu pas di Pangandaran bersama Sifa.
“Ngaso dulu yuk!” Sifa langsung duduk di bangku taman dekat penjual pecel.
Kami istirahat sejenak sambil memakan cemilan yang dibawa dari kosan.
“Pertanyaan bapak tadi emang nusuk banget ya! Nasib jomblo ya kaya gini, selalu sendiri. Eh tapi enggak juga sih, Raditya Dika pernah bilang gini jomblo sama LDR itu sama saja kamana-mana sendirian, bedanya kalau jomblo bisa cari pacar lagi kalau LDR gak bisa cari pacar lagi dan harus setia sama mailbox”
            “Hahaha... betul... betul.. betul” ucap Sifa sambil meniru gaya upin-ipin.
            “Lanjut yuk!” ajakku sambil membuang plastik bekas makanan ke tong sampah.
            Jomblo atau gak sih itu pilihan, lagi pula jodoh itu sudah ada yang mengaturnya, hanya saja waktu dan tempat belum mengijinkan saling bertemu. Mungkin kompas cintaku belum menemukan arah yang tepat. Pacaran? Ah itu bukan menjadi tolak ukur penentu kalau jodoh kita akan semakin dekat. Karena tak selamanya pacar itu adalah orang yang Allah kirim sebagai jodoh kita, mungkin saja itu hanya singgah sementara. Kompas cintanya lagi error!
            “Yet, Rini mana?”
            Aku menoreh ke belakang, ternyata dia gak ada.
            “Yet, kayanya Rini sudah menemukan kompas cintanya tuh” Sifa menunjuk ke arah pohon dekat tempat kami beristirahat tadi. Lelaki berkecamata rupanya sedang asyik mengobrol dengan Rini dan langsung menyerahkan kameranya.
            “Maaf lama, tadi ada orang yang minta difotoin, hmm... harusnya aku tuh yang difoto bareng pasanganku!” Rini menghembuskan nafas panjang.
            “Sabar ya, kalau kamu punya pacar ntar gak ada yang ngajakin aku main dong!” aku mencoba menengkannya.
            Cepat atau tidaknya menemukan kompas cinta itu diukur dari seberapa dekatnya kita dengan sang pemilik Maha Cinta. Percayalah jodoh itu akan datang di saat yang paling tepat. Bagaimana dengan kompas cintamu? Sudahkan menemukan arah yang tepat?
                                                         ***
 



             

           


           
             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar