Malam pergantian tahun
bagi sebagian orang menjadi tradisi yang patut untuk dirayakan. Tiupan terompet
ditambah pesta kembang api menjadi suguhan yang menarik dalam semarak
kemeriahan detik-detik pergantian tahun. Aku juga sangat menunggu moment ini
sejak seminggu yang lalu, bukan karena ingin merayakan tahun baru dengan cara
berfoya-foya membeli kembang api lalu dibakar begitu saja, melainkan karena
setiap tanggal 1 Januari merupakan hari libur nasional, lumayan ada rehat dipertengahan
UAS nih.
“Yeah I’m free” teriakku sambil melihat langit di balik
jendela.
“Mba, malam tahun baru mau kemana?” tanya perempuan di balik pintu
kamarku.
“Di kosan saja”
“Nasib jomblo ya kaya gitu malam tahun baru ngamar terus
kerjaannya” celoteh Rini sambil tertawa.
“Sesama jomblo jangan kaya gitu, mbok kamu juga paling di kosan
saja. Keluar malam hanya untuk melihat kembang api? Kalau masuk angin
bagaimana? Bisa ribet urusannya tuh, mending juga istirahat di kosan sambil
bikin resolusi 2015”
“Eitss, jangan salah walau aku jomblo tapi aku mau tahun baruan di
PKM bareng anak-anak silat lohhh....” belum sempat dia bercerita panjang lebar,
aku langsung memotong perkataannya.
“Ah.. sudah sana kalau mau berangkat mah, ntar telat loh!”
“Iya deh mba, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam, pintunya tutup Rin”
“Brakk..” pintu ditutup dengan sekuat tenaga hingga menjatuhkan
kertas yang tertempel di dinding dekat pintu tersebut.
Mataku langsung tertuju pada kertas tersebut, dengan segera aku
langsung mengambilnya dalam posisi telungkup. Saat aku membalikan kertas itu
terdapat tulisan Harapan 2014 lengkap dengan 50 targetan.
“Masih banyak targetan yang belum tercapai tahun ini, setahun
rasanya berlalu begitu cepat” ucapku sambil melihat langit-langit kamar.
Malam tahun baru menjadi
ajang Laporan Pertanggung Jawaban, ya waktunya untuk muhasabah diri sekaligus
untuk membuat resolusi di tahun 2015. Semoga tahun 2015 semua resolusiku
tercapai, harus dan kudu lebih baik lagi dari 2014.
“Semangat Yeyet, kamu pasti bisa!”
***
Selamat pagi 2015,
udara segar sangat terasa saat aku membuka jendela. Mentari menampakkan
sinarnya dengan penuh semangat. Cerah sekali hari ini, aku pun langsung
bergegas ke belakang untuk menjemur pakaian yang aku cuci kemarin sore.
“Jemur yet?” tanya
perempuan berkacamata yang sedang asyik menjemur pakaian.
“Iya nih, mumpung
cerah Fa”
“Libur panjang mau
kemana nih? Bosen loh kalau di kosan terus, main yuk!” ajak Sifa dengan penuh
semangat.
“Main kemana?
Sawah?”
“Ah, jangan ke sawah dong!”
“Baturraden, yuk
ke saja, eh tapi dompet lagi tipis banget nih!”
“Ide bagus, tenang
Yet, bawa cemilan saja biar gak jajan di sana, kebetulan pas aku pulang ibu
bawa makanan banyak banget” ucap Sifa sambil mengalungkan handuk dilehernya.
Aku segera menyelesaikan
menjemur pakaian yang hanya beberapa potong baju lagi. Saat memasuki dapur, aku
berpapasan dengan Rini yang sedang asyik mencuci piring.
“Rin, mau ikut gak
Baturraden”
“Baturraden, ya
mba aku ikut kebetulan aku belum pernah ke sana, jam berapa mba?”
“Pokoknya paling
siang kita berangkat pukul 09.00 ayo kalian mandi dulu terus siap-siap mumpung
ada waktu sejam lagi” teriak Sifa dari balik kamar mandi.
“Oke deh!” jawabku
***
Toko banyak yang
tutup dan hanya ada beberapa sepeda motor melintas membawa belanjaan. Jalan
terlihat lengang sekali bahkan nyebarang pun tak harus menunggu lampu hijau
menyala. Mungkinkah kota ini ditinggal mudik penghuninya? Ataukah penghuninya
masih terlelap tidur karena semalaman begadang? Tak lama kemudian anggkot hijau
terlihat dari arah timur, aku pun langsung melambaikan tangan.
“Ke Baturraden kan
Pak?” tanyaku ke sopir yang memakai kaos oblong.
“Iya” jawabnya
singkat.
Kami memasuki
angkot tersebut yang sudah terisi penumpang setengahnya. Perjalanan menuju
Baturaden membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Maklum di tengah
perjalanan sopir terus memasukkan penumpang hingga angkot pun benar-benar sesak
ditambah barang bawaan penumpang seperti dagangannya yang akan dijajakan di
lokawisata Baturraden.
Kondisi Baturreden
ternyata cukup ramai oleh pengunjung baik yang berasal dari Purwokerto maupun
dari luar kota. Hal ini sangat kontras dengan kondisi lingkungan di sekitar
kampus yang sepi sekali. Antrean di depan loket masuk lumayan panjang yang
membuat kami harus bersabar menunggu giliran membeli tiket masuk seharga Rp
14.000.
“Akhirnya target
semester 1 pergi ke Baturraden kesampaian juga, ramai sekali pengunjungnya”
ucap Rini dengan wajah yang sumringah.
“Yeah, aku dapat
tiketnya, yuk kita masuk!” teriakku sambil membagikan tiket ke Rini dan Sifa.
Alunan kentongan
menambah suasana pagi menjadi lebih hangat, aku sangat suka dengan kesenian
itu, bunyi yang dikeluarkan dari instrumen bambu sangatlah khas sekali. Jadi
tak sabar ingin segera menontonnya, namun langkah kakiku terhenti saat melihat tulisan
30 menit langsung jadi. Pandanganku mendarat pada lukisan lelaki tua yang
sedang merokok. Lelaki tua berbaju merah, perawakannya tinggi besar dan
berambut panjang sangat terampil memainkan kuasnya. Tak pikir panjang lagi, aku
langsung meminta Rini dan Sifa untuk mampir di stand tersebut.
“Lukisannya mirip
sekali ya, berapa harganya Pak?” tanyanya pada lelaki tua yang penampilannya
mirip preman.
“Satu lukisan
wajah harganya Rp. 250.000, suka melukis juga?” ucap lelaki yang sedang melukis
wajak anak kecil.
“Suka, tapi
hasilnya selalu jelek!” jawabku sambil tertawa kecil mendengar harga lukisan
yang setara dengan uang makanku selama dua minggu.
Aku dan Sifa
terlibat perbincangan yang cukup menarik dengan beliau, sampai lupa kalau ada
Rini. Ah aku memang terlalu kepo, semua orang diwawancara, tapi aku suka dengan
hal itu, nyuri ilmu bukanlah tindakan kriminal kan?
“Tujuan kita ke
sini mau refreshing, lah malah nongkrong di sini” Sifa mencoba mengingatkanku.
Kami pun melanjutkan
perjalanan menikmati keindahan alam yang masih asri ini, melintasi jembatan,
berfoto dekat air terjun, nonton kentongan, liat badut yang lucu banget dan
pada akhirnya kami kelelahan setelah menaiki anak tangga. Wahana yang ada di
sini ternyata harus bayar lagi, namun ada juga yang gratis seperti sepeda air,
kolam renang dan pemandian air panas. Sebagai mahasiswa, tentu kami milih yang
gtratisan, ah naik sepeda air kayanya seru tuh. Namanya juga gratis, antreannya
panjang banget kaya gerbong kereta api, sampai ada tulisan “maaf tiketnya
habis”. Tak perlu khawatir masih ada wahana yang gratis lagi kok, yaps itu dia
mainan ayunan dan njot-njotan (Maklum waktu kecil aku gak sekolah TK, masa
kecil kurang bahagia gitu).
Mainan ini membuat
hatiku senang, lupakan sejenak UAS, ayo bermain sepuasnya, sungguh ini gila
juga, kaya anak kecil yang baru kenal ayunan. Ah tak peduli walau orang lain
banyak yang melihat, toh gak kenal juga. Bahagianya tuh di sini (Sambil pasang
senyuman termanis).
“Dari mana?” tanya
lelaki tua yang sedang menemani kedua anaknya main njot-njotan.
“UNSOED pak” jawab
kami dengan sangat kompak.
“Semester berapa?”
“Lima” jawab kami
berbarengan, Rini sambil tertawa menjawabnya.
“Berarti umur
kalian? 20 tahun ya?”
“Iya Pak” jawabku
“Pantas masih
unyu-unyu”
“Iya Pak,
unyu-unyu kaya anak SMA” ucap Sifa sambil mengayunkan ayunan yang sedang aku
naiki.
Kami terus
dihamtam pertanyaan oleh beliau, mulai dari asal, alamat kos, jurusan, masalah
PKL, sampai pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Ini persis kaya wawancara
melamar kerja. Ada saja bahan pertanyaannya, kalau gak dijawab takut dianggap
egois, cuek, gak sopan apalagi sama orang yang sudah tua.
“Kalian bertiga
saja nih? Pacarnya mana?” tanya beliau sambil menyuapi anak laki-lakinya yang
memakai baju ungu.
“Di Jaelani Pak”
jawab Sifa dengan penuh keyakinan.
“Pacar mba, bukan
Kosan” Rini langsung mengambil HP yang sedari tadi dipengang Sifa untuk melihat
hasil jepretan.
“Oh pacar hehe..
dikira kosan, ngeliatin foto jd gak fokus!”
“Pacarnya diambil
orang Pak” jawab Rini dengan wajah polos (Jujur banget sih Rin, sabar ya Rin).
“Hahaha, berati
pada jomblo ya?”
Ayunan mengayun
dengan kencang dan kami pun tertawa lepas sambil walau hati terasa
tercabik-cabik.
“Pacarnya belum
ketemu Pak, lagi sama-sama mencari, maklum belum menemukan kompas cinta”
jelasku.
Memang sedari
tadi, banyak sekali muda-mudi yang jalan bersama gebetannya, bahkan biar
terlihat romantis ada yang pakai baju seragaman (kaya anak mau sekolah saja
bajunya seragaman). Lucu sekali melihatnya ada cewek yang ingin foto eh
pasangannya lagi badmood akhirnya ceweknya marah-marah, ada juga cowok yang
rela nenteng tas ceweknya (koplak banget, padahal cowoknya kaya Polisi berbadan
tegap, tapi penampilannya terkalahkan gara-gara nenteng tas ceweknya, pink lagi
warnanya). Demi cinta apa sih yang enggak!
“Pantas saja gak
ketemu, nyarinya berlawanan arah sih” Rini tiba-tiba menatapku.
“Pacarnya ketemu
di pelaminan saja Pak, jadi langsung nikah gitu” Sifa mencoba mencairkan
suasana.
“Ntar aku cariin
deh, teman bapak banyak yang pegawai loh! Mau gak?”
“Hahaha....” kami
hanya bisa tertawa mendengar tawarannya.
***
Matahari berada tepat di atas kepala, kami memutuskan untuk
berhenti bermain ayunan. Semakin siang ternyata pengunjungnya semakin ramai,
kami memilih turun saja sekaligus ke kolam renang yang berjarak tak jauh dari
tempat ayunan tadi. Lumayan masuk kolam renangnya gratis, sayang kalau tidak
dimanfaatkan, lagi pula sudah lama saya tak renang. Saya masih ingat terakhir
renang itu pas di Pangandaran bersama Sifa.
“Ngaso dulu yuk!” Sifa langsung duduk di bangku taman dekat penjual
pecel.
Kami istirahat sejenak sambil memakan cemilan yang dibawa dari
kosan.
“Pertanyaan bapak tadi emang nusuk banget ya! Nasib jomblo ya kaya
gini, selalu sendiri. Eh tapi enggak juga sih, Raditya Dika pernah bilang gini
jomblo sama LDR itu sama saja kamana-mana sendirian, bedanya kalau jomblo bisa
cari pacar lagi kalau LDR gak bisa cari pacar lagi dan harus setia sama
mailbox”
“Hahaha...
betul... betul.. betul” ucap Sifa sambil meniru gaya upin-ipin.
“Lanjut yuk!”
ajakku sambil membuang plastik bekas makanan ke tong sampah.
Jomblo atau gak
sih itu pilihan, lagi pula jodoh itu sudah ada yang mengaturnya, hanya saja
waktu dan tempat belum mengijinkan saling bertemu. Mungkin kompas cintaku belum
menemukan arah yang tepat. Pacaran? Ah itu bukan menjadi tolak ukur penentu
kalau jodoh kita akan semakin dekat. Karena tak selamanya pacar itu adalah
orang yang Allah kirim sebagai jodoh kita, mungkin saja itu hanya singgah
sementara. Kompas cintanya lagi error!
“Yet, Rini mana?”
Aku menoreh ke
belakang, ternyata dia gak ada.
“Yet, kayanya Rini
sudah menemukan kompas cintanya tuh” Sifa menunjuk ke arah pohon dekat tempat
kami beristirahat tadi. Lelaki berkecamata rupanya sedang asyik mengobrol
dengan Rini dan langsung menyerahkan kameranya.
“Maaf lama, tadi
ada orang yang minta difotoin, hmm... harusnya aku tuh yang difoto bareng
pasanganku!” Rini menghembuskan nafas panjang.
“Sabar ya, kalau
kamu punya pacar ntar gak ada yang ngajakin aku main dong!” aku mencoba
menengkannya.
Cepat atau
tidaknya menemukan kompas cinta itu diukur dari seberapa dekatnya kita dengan
sang pemilik Maha Cinta. Percayalah jodoh itu akan datang di saat yang paling
tepat. Bagaimana dengan kompas cintamu? Sudahkan menemukan arah yang tepat?
***