"Di luar negeri soybean termasuk tanaman penghasil oil.
Sementara di Indonesia, oil berasal dari kelapa sawit. Bersyukurlah kita,
karena biaya produksi oil dari kelapa sawit enam kali lebih murah dibandingkan
dengan biaya produksi oil dengan bahan baku soybean.
Namun entah mengapa, sawit kita terus diolok-olok karena tidak ramah lingkungan.
Mungkin ini hanya soal persaingan dagang internasional. Hanya orang-orang
Hubungan Internasional yang mengerti permasalahan tersebut. Sayangnya, mereka
tak tahu cara budidayanya yang itu dikuasai oleh orang-orang pertanian. Disinilah
pentingnya kolaborasi."
Ucapan Pak Edhi disela-sela
Kuliah Toksikologi Fungisida sungguh menohok meskipun disampaikan dalam nuansa guyonan. Hal ini cukup mengejutkan bagi saya
dan dengan spontan turut mengamini pernyataan tersebut. Ada apa di balik ini?
Tidak, hal tersebut bukan berati
saya setuju dengan kegiatan yang merusak lingkungan terkhusus bumi tercinta
ini. Sungguh bukan itu yang akan disorot, tetapi lebih dari itu, tentang kepentingan.
Mari kita sama-sama runut
permasalahnya!
Tanaman sawit merupakan salah
satu tanaman tropis yang buahnya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan oil.
Produk turunan lainnya yaitu digunakan sebagai bahan baku sabun, margarin,
minyak goreng bahkan sebagai biofuel. Indonesia merupakan salah Negara terbesar
dalam produksi sawit. Tak heran jika Eropa dan AS yang iklim temperate atau
subtropis, bersikap “iri” terhadap Indonesia. Why? Ya, seperti yang dijelaskan di atas, mereka hanya mengandalkan
bebijian untuk memproduksi oil sementara kita punya lahan luas, sawit tumbuh
subur, dan biaya produksinya pun lebih murah dibandingkan dengan soybean. Lebih tepatnya, mereka takut
Indonesia menguasai pasar per-oil-an bahkan lebih parahnya lagi mereka akan
kehilangan pasar. Sebegitu sengitkah dodolan
dikancah internasional? Skeptis memang, tapi hal tersebut sedikit memberikan
sudut pandang yang berbeda mengenai isu sawit.
Isu sawit menjadi hidangan lezat
bagi Uni Eropa, mereka terus mendesak bahwa perkebunan sawit tidak ramah
lingkungan. Penebangan dan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan yang
menyebabkan polusi juga berakibat pada banyaknya satwa endemik mati, dst.
Padahal Indonesia merupakan Negara ketiga yang memiliki hutan paling luas.
Nah, apabila dihubungkan dengan
pernyataan Pak Edhi, titik temunya yaitu mereka khawatir terkait hutan
Indonesia. Tidak, bukan mereka empati, tapi hanya kamuplase saja. Ya, saya
pernah membaca suatu artikel yang isinya kurang lebih seperti ini “Negara
seperti AS berupaya agar hutan di Indonesia terus lestari sehingga dapat
menyerap polutan yang mereka keluarkan”.
Ya tak dapat dipungkiri bahwa
setiap orang memiliki kepentingan berbeda-beda begitupun sebuah Negara,
termasuk Negara yang menggaungkan “pertanian yang ramah lingkungan” tapi mereka
sendiri menggantungkan hidupnya dari jualan pestisida di Negara berkembang
terutama di Bumi Pertiwi. Miris.
Selamat Hari Bumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar